Jadi Kurir Proklamasi Kemerdekaan 1945, Remaja Ini Bertaruh Nyawa
Kereta api melaju sesuai dengan bahan bakar yang dipakai. Lambat. Setiap peluit menjerit, asap hitam bergelung-gelung tebal di udara. Api yang berasal dari kayu yang terbakar di atas tungku uap lokomotif, ada kalanya terpercik.
Percikan api yang dibawa angin menimpa rambut, juga membolongi baju penumpang yang berjejalan. 12 jam dengan berjalan merambat, kereta api akhirnya sampai Yogyakarta.
Perjalanan berhenti sejenak. Gatot dan Umar turun. Tidak sulit menemukan sesama pejuang republik yang baru berumur dua bulan. Dengan memperlihatkan lencana merah putih , keduanya diterima dengan tangan terbuka.
Gatot dan Umar menginap semalam di Yogyakarta. Keesokan harinya. Dari stasiun Tugu, keduanya melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sejumlah pejuang sempat memberinya uang saku sebagai tambahan bekal di perjalanan.
Secara fisik maupun usia, Gatot dan Umar masih remaja belia. Di sepanjang perjalanan ke Jakarta. Kesanggupannya menjadi kurir kemerdekaan mendatangkan banyak reaksi orang lain.
Sesama penumpang kereta banyak yang merasa kagum, bersimpatik. Namun tidak sedikit yang mencibir, memandang sebelah mata, dan bahkan mengolok-olok. Namun kedua remaja itu tidak berusaha meladeni. Tiba di Kota Purwokerto, Jawa Tengah, kereta api kembali berhenti. Di hari itu petugas kereta api harus kembali menyiapkan bahan bakar yang habis.
Roda-roda diperiksa. Sekrup-sekrup dikontrol. Gandengan antar gerbong dan tungku pembakar tidak luput dari pemeriksaan. Bahkan masinis, kondektur dan stoker atau petugas yang bertanggung jawab atas tungku pembakaran, juga diganti. Sesuatu yang umum di jaman itu. Dalam setiap trayek jarak jauh, secara estafet petugas kereta api dilakukan penggantian.
Seperti di Yogyakarta. Di Purwokerto, Gatot dan Umar juga kembali menginap semalam. Keesokan harinya kereta kembali melanjutkan perjalanan. Belum lama berjalan, dari kejauhan terdengar rentetan tembakan. Para penumpang sontak panik, gelisah. Bertanya-tanya. Mereka khawatir tembakan akan mendekat. "Katanya sudah merdeka. Lha kok perang lagi".
Terbawa suasana, Gatot dan Umar juga turut gelisah. Untungnya, suara-suara tembakan itu tidak lama kemudian mereda dan hilang. Saat itu tidak banyak yang tahu. Sejak 8 September 1945. Melalui Jakarta, Semarang, dan Surabaya tentara sekutu yang dipelopori Inggris telah masuk tanah air. Kedatangan mereka untuk melucuti tentara Jepang dipimpin Letnan Jendral Sir Philip Christison.
Belanda dengan pasukan NICA membonceng. Paska kekalahan Jepang, Belanda ingin memulihkan kembali kekuasaanya di Indonesia. Pertempuran pun meletus di mana-mana. Setelah sempat kembali menginap semalam di Cirebon, perjalanan Gatot dan Umar yang berlangsung empat hari, sampai juga di Jakarta. Keduanya turun di stasiun Jatinegara.
Melalui petunjuk nomor kontak dari Tajib Ermadi, Gatot dan Umar naik trem dengan tujuan Pegangsaan Timur. Syarif dan Syafei, dua pemuda penjemputnya, menyarankan Gatot dan Umar mencopot lencana merah putih yang dikenakan. Bagi para pejuang republik, Jakarta dalam situasi berbahaya. Belanda ada di mana-mana, berpatroli sekaligus melakukan aksi polisional .
Panasnya suhu politik Jakarta berlangsung sejak Proklamasi Kemerdekaan berkumandang. Sebulan paska proklamasi , sebanyak 200.000 warga berbondong-bondong memadati lapangan Ikada (Sekarang lapangan Monumen Nasional). Dengan membawa berbagai senjata tajam, kepungan tank dan panser pasukan Jepang diterobos. Rakyat minta perang. Menunggu perintah Presiden Soekarno menghancurkan Jepang.
Bung Karno naik mimbar dan untungnya berhasil menenangkan massa yang sudah siap berani mati.
"Belasan ribu orang tersebut bisa ditenangkan. Mereka kembali ke rumah masing-masing," kata Mangil Martowidjojo, Pengawal Bung Karno dalam "Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi Sampai Orde Baru".
Editor: Nani Suherni