Cerita Horor Penambang Emas dan Pencari Langsat Menghilang secara Gaib

MEDAN, iNews.id - Cerita horor masih menyelimuti kawasan Bukit Tor Pisang Mata (Torpis) Desa Mailil, Kecamatan Bilah Barat, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Dikabarkan ada empat dari 13 orang ekpedisi Belanda yang ingin membuka penambangan emas hilang secara gaib.
Tak hanya itu, kisah orang menghilang secara tiba-tiba juga menimpa seorang warga lokal pencari buah langsat di daerah perbukitan, yang terdapat di lereng Bukit Barisan Rantauprapat.
Sejak dahulu warga masih ada yang meyakini di puncak Bukit Tor Pisang Mata, terdapat kadungan emas yang cukup banyak, tetapi dibarengi dengan kemistisan di daerah tersebut.
Bahkan, cerita kandungan emas sebesar kuda tertanam di lokasi itu, sudah tersiar ke mana-mana. Hingga hari ini juga warga masih kerap melakukan penambangan secara tradisional di sebuah sungai yang tidak jauh dari kaki bukit Tor Pisang Mata tersebut.
Cerita keberadaan bongkahan emas ini pula yang memotivasi orang Belanda yang didampingi tokoh lokal untuk mengirimkan ekpedisi sebanyak 13 orang melakukan pencarian bongkahan emas yang cukup tersohor di daerah itu sejak masa dulu.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan hingga sampai di Bukit Tor Pisang Mata, akhirnya ke 13 orang yang tergabung dalam ekpedisi warga Belada itu sampai di puncak Bukit Tor Pisang Mata.
Sebutan Tor Pisang Mata muncul sejak ratusan tahun lalu. Ketika itu, warga yang berkebun di sana menemui keanehan. Setiap pisang yang sudah masak dibawa ke daerah perbukitan itu, secara mendadak bisa menjadi mentah (Bahasa Mandailing Mata= Mentah)
Sejak itulah sampai hari ini, bukit itu disebut warga menjadi Tor Pisang Mata. Kemudian, tim ekspedisi Belanda yang terdiri dari 13 orang itu terlebih dahulu melakukan ritual sebelum melakukan penambangan emas.
Mereka menaburkan sesajen yang dianggap sebagai ucapan minta izin kepada penunggu di sana, atas kehadiran mereka di lokasi itu. Dengan cara demikian mereka meyakini bakal mendapat restu dari pihak gaib untuk memulai perburuan bongkahan emas itu.
Alhasil, pengerukan dimulai dengan harapan emas yang terkandung dalam bukit itu dapat diperoleh. Dengan berbagai cara pengerukan dilakukan, namun belum membuahkan hasil. Peluh serta keringat membasahi tubuh mereka yang bergelut didalam kubangan yang mereka kerok.
Mereka akhirnya sempat putus asa. Lalu ke-13 orang itu kembali mengeruk yang lebih dalam lagi tepat di ujung bukit tersebut. Hasilnya tetap saja belum membuahkan hasil. Mereka masih tetap gagal menemukan bongkahan emas yang diharapkan.
“Padahal, kalau diteropong pakai alat deteksi orang itu, ada emas ukuran besar di dalam tanah di ujung bukit Torpisang Mata,” kata Kamaluddin Rambe (67) salah seorang tetua yang sering mendengarkan cerita masa lalu itu dari kakeknya.
Setelah berbagai cara dilakukan dan di ujung keputusasaan, warga Belanda itu kemudian menemui seorang paranormal yang cukup tersohor di masanya di kampung yang terdapat di bagian lembah bukit tersebut.
Di sana kemudian mereka disarankan agar melakukan ritual persembahan dengan cara memotong seekor Lembu yang memiliki darah warna putih. Itu diyakini sebagai syarat, jika ingin menemukan emas yang ada dibukit Tor Pisang Mata.
Mendengar darah putih lembu tersebut, membuat mereka pun bingung, karena hal itu justru dianggap mustahil terpenuhi. Sebab, seumur hidup anggota ekpedisi tersebut, belum pernah menemukan darah putih seekor lembu jika dipotong.
Tetapi ada saja ide dan cara mereka. Akhirnya untuk mengganti darah putih tersebut warga Belanda itu disarankan alternatifnya supaya menyediakan santan kelapa, agar saat memotong seekor lembu yang memiliki darah merah bisa secara bersamaan mencurahkan santan murni di antara darah yang mengalir ke lubang pengerukan.
Saat itulah kemudian, dilakukan pengerukan. Tiba-tiba saat pengerokan yang dituangkan santan kelapa dan darah secara bersamaan itu, mereka kaget karena tiba-tiba menemukan bongkahan kuning mengkilat yang ditutupi tanah liat di dalam lubang yang mereka gali.
Semula mereka mengira bongkahan itu adalah batu besar berwarna kuning. Tetesan darah dan santan kelapa itupun kembali disiramkan mengenai bongkahan yang dianggap batu tersebut. Ternyata setelah ditarik warnanya makin kuning cerah.
Akhirnya, setelah dicermati dengan seksama ternyata benda keras itu adalah emas murni. Dengan rasa gembira dan terharu mereka berhasil memegang logam mulia sebesar kepala kuda dewasa itu.
Tetapi sial, itu tidak lama berlangsung. Di antara rasa girang yang tidak terhingga, seorang diantara 13 warga Belanda itu berujar bahwa, warna putih itu bukanlah darah asli, melainkan campuran santan murni buah kelapa.
“Saat itu jugalah emas kembali jatuh ke lubang yang menganga itu dan lenyap seketika secara misterius. Karena saat itu ada satu di antara mereka dengan jujur mengatakan, darah putih itu bukan asli, melainkan bohongan. Itu merupakan cairan yang dicampur dengan santan. Mereka semua sangat kecewa apalagi sudah sampai berminggu- minggu di sana,” kata lelaki tersebut.
Sangat kecewa akibat hilangnya kembali emas itu, ke-13 warga Belanda itu pun akhirnya emosi hingga membakar bukit Tor Pisang Mata terutama di bagian bukit paling tinggi.
“Tapi setelah itu, timbul lagi kejadian aneh. Empat orang dari 13 itu mendadak hilang seketika dan tidak pernah ditemukan sampai saat ini,” tutur Kamaluddin.
Akibat kehilangan tim ekspedisi Belanda itu, akhirnya dibangun sebuah Tugu milik Belanda. Sampai saat ini tugu tersebut masih ditemukan di lokasi. Di atas bukit Tor Pisang Mata, ada tugu bertuliskan bahasa Belanda.
“Itu dibangun sebagai tanda mereka mengalami kehilangan warganya secara misterius,” ujarnya.
Konon setelah hilangnya empat di antara 13 yang tergabung dalam tim ekpedisi warga Belanda itu, ada juga kisah hilangnya seorang pencari Langsat pada 1970-an.
Menurut cerita dari Acun Rambe, (48) Warga Desa Malilil yang diperolehnya dari almarhum Kosim Siregar, peristiwa itu sempat menggemparkan warga di daerahnya.
Editor: Nani Suherni